Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dalam shahih
Bukhari, Nabi Muhammad berpesan kepada kita, “Barangsiapa pernah
melakukan kezhaliman terhadap saudaranya, apakah itu menyangkut kehormatannya
maupun sesuatu yang lain, maka hendaklah dia minta dihalalkan darinya hari ini,
sebelum dinar dan dirham tidak berguna lagi (hari kiamat). (Kelak) jika dia mempunyai
amal saleh, akan diambil darinya seukuran kezalimannya. Dan jika dia tidak
mempunyai kebaikan (lagi), akan diambil dari keburukan saudaranya (yang
dizalimi) kemudian dibebankan padanya.”
Ini adalah tindak lanjut dari sikap takut membawa dosa
kezaliman saat berjumpa dengan Allah. Kita dianjurkan untuk memiliki sikap
berani mengakui kesalahan dan kemudian meminta maaf. Dalam hadits di atas,
Rasulullah telah memerintahkan, “Barangsiapa pernah
melakukan kezaliman terhadap saudaranya baik menyangkut kehormatannya maupun
sesuatu yang lain, maka hendaklah dia minta dihalalkan darinya hari ini,
sebelum dinar dan dirham tidak berguna lagi (hari kiamat).”
Kezaliman tidak hanya dilakukan oleh seorang penguasa
kepada rakyatnya atau seorang pemimpin kepada bawahannya. Setiap orang
mempunyai celah untuk melakukan kezaliman kepada sesamanya. Kezaliman
bisa dilakukan oleh lidah atau tangan. Kata-kata yang menyakitkan, menistakan,
memprovokasi, dan mengklaim hanya dirinya yang berjasa (dan menggap orang lain
tidak punya kebaikan) adalah kezaliman. Tangan yang menyengsarakan,
menghilangkan hak orang lain, serta meruskan adalah kezaliman.
Muslim sejati adalah orang yang tidak pernah menzalimi
orang lain, baik dengan lidah maupun dengan tangannya sebagaimana sabda
Rasulullah, “Orang muslim (sejati) adalah orang yang
orang-orang muslim lainnya selamat dari (gangguan) lidah dan
tangannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Siapa pun bisa melakukan kesalahan kepada sesamanya.
Jika hal itu terjadi, sikap terbaik yang diajarkan Rasulullah adalah segera
meminta maaf. Itulah yang dilakukan Abu Dzar terhadap Bilal (semoga Allah
meridoi mereka) dalam kisah berikut. Pada suatu hari, Abu Dzar Al-Ghifari terlibat percekcokan
dengan Bilal. Karena kesal, Abu Dzar berkata, “Engkau juga menyalahkanku
wahai anak perempuan hitam?” Mendengar dirinya disebut dengan anak perempuan
hitam, Bilal tersinggung, sedih, dan marah. Ia kemudian melaporkan hal itu
kepada Rasulullah. Beliau kemudian menasihati Abu Dzar, “Hai Abu Dzar, benarkah
engkau mencela Bilal dengan (menghinakan) ibunya? Sungguh dalam dirimu ada
perilaku jahiliyah.”
Mendengar nasihat Rasulullah Saw. itu, Abu Dzar
tersadar dari kesalahannya. Segera ia menemui Bilal. Abu Dzar kemudian
meletakkan pipinya di tanah seraya mengatakan, “Aku tidak akan mengangkat
pipiku dari tanah hingga kau injak pipiku ini agar engkau
memaafkanku.” Namun Bilal tidak memanfaatkan momentum ini untuk membalas
dendam. Bilal malah berkata, “Berdirilah engkau, aku sudah
memaafkanmu.” Begitulah Abu Dzar dengan mudah dan berani mengakui
kesalahan yang ia lakukan bukan dengan sengaja untuk menghinakan Bilal.
Sikap seperti itulah yang seharusnya ada pada diri kita saat
kita berinteraksi dengan pihak lain, terutama orang-orang terdekat kita seperti
suami, isteri, anak, orangtua, saudara, dan seterusnya. Orang yang tidak belajar mengakui kesalahan tidak akan
belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Memang, untuk belajar
mengakui kesalahan, seseorang membutuhkan jenak-jenak untuk untuk melakukan perenungan. Dia
harus bisa menyisihkan waktu untuk melepas berbagai kesibukan seraya
merenungkan berbagai ucapan atau tindakan saat berinteraksi dengan pihak lain.
Kalau saja kita mengikuti
nafsu, selalu ada pihak lain yang bisa disalahkan dalam hal apa pun. Misalnya
ketika seorang anak disuruh membeli satu barang oleh ibunya dan ternyata ia
pulang dengan membawa barang lain yang tidak disuruh, maka cara yang paling
mudah (yang merupakan cara nafsu alias cara egois) adalah menyalahkan si anak
dengan berbagai tuduhan.
“Tidak dengar, tidak perhatian. Nakal!” Mungkin
kalimat itu yang akan meluncur dari mulut seorang ibu yang egois. Tidakkah kita
berfikir, “Jangan-jangan, perintah saya tadi memang tidak jelas sehingga ditangkap
oleh si anak secara samar atau ditangkap dengan persepsi lain.”
Pikiran serupa hendaknya diterapkan ketika orang lain
merespon atau bereaksi negatif terhadap ucapan atau tindakan kita. Mungkin
orang itu memang salah merespon ucapan kita. Tapi tidak mustahil juga memang
kitalah yang salah. Tanpa kita sadari, mungkin kalimat yang kita ucapkan
direspon sebagai kalimat yang melecehkan atau menyinggung perasaannya.
Ini adalah salah satu wujud kebenaran sabda
Rasulullah, “Orang mukmin itu cermin bagi saudaranya.” Bukankah cermin hanya
akan memantulkan bayangan benda yang ada di hadapannya?
Dalam kondisi seperti ini, segeralah meminta maaf. Ini
adalah cara yang bijak dan tepat. Katakanlah bahwa sebetulnya substansi yang
kita maksud tidak terutarakan dengan tepat. Boleh jadi kita terkesan
mengutarakan substansi kalimat dengan emosional atau mendikte.
Maka bukanlah pada tempatnya jika kita ngotot dengan
dalih bahwa yang kita sampaikan adalah benar. Boleh jadi itu benar tapi kita
seharusnya minta maaf karena menyampaikan keinginan dengan cara-cara yang tidak
benar.
Al-Quran mengajarkan kepada kita, “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar (lurus, tepat), niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati
Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang
besar.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 70-71)
Kata sadiida dalam ayat di atas berasal dari
kata sadaad yang artinya lurus atau tepat. Bukankah kata-kata yang bagus adalah
bagian dari ketakwaan? Perintah mengucapkan kata-kata yang lurus atau tepat
setelah perintah takwa sungguh merupakan isyarat tentang betapa pentingnya dan
hebatnya peran kata-kata dalam kehidupan serang muslim.Bahkan ayat selanjutnya menegaskan bahwa dengan takwa serta kata-kata
yang lurus dan tepat itu segala pekerjaan dan amal kita akan menjadi baik dan
beres.
Sedemikian pentingnya urusan kata-kata ini sehingga
kita dianjutkan untuk menggunakan pikiran jernih saat mendapatkan masukan,
koreksi, ataupun nasihat dan bukannya sibuk mencari pembelaan. Pakailah rumus “Jangan-jangan dia memang benar” atau “Barangkali
nasihat dia ada gunanya.”
Jangan merasa dihina jika
dinasihati. Mencari-cari alasan bela diri untuk sekedar menampakkan bahwa
diri tidak bersalah tidaklah menguntungkan sama sekali. Cara demikian tidaklah
mengubah hakikat sesuatu. Contohlah cara yang dipraktekkan oleh Rasulullah dan para
sahabatnya dengan tidak sungkan dan berani minta maaf.
Wallahu a’lam.
(dari tulisan ustadz Tate Qomaruddin, Lc., pkssumut.or.id)