Lautan Makna di Balik Tahmid

Sesungguhnya ucapan “alhamdulillah” sangat ringan bagi lidah, tetapi kedalaman maknanya melebihi kedalaman palung mariana di samudera pasifik. Surah pertama dari Al-Qur’an yaitu Al Fatihah diawali dengan kata alhamdulillah (hamdalah) yang mengisyaratkan nilai tersendiri terhadap Al-Qur’an dan kalimat tersebut. Artinya pesan kehidupan, tuntunan ibadah dan akhlaq yang ada di dalam Al-Qur’an merupakan nilai yang tidak dapat dihargai dengan segala bentuk penghargaan. Oleh karena itu, hamdalah menyiratkan bahwa manusia tidak punya kemampuan sedikit pun untuk memberikan pujian terhadap segala nikmat Allah Ta'ala, karena nikmat itu sendiri di luar dari perhitungan matematis.
Hakikat ini telah ditegaskan Syekh Abu al-Abbas al-Mursi dalam pernyataannya berikut ini:
“Firman-Nya:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ  (QS. al-Fatihah [1]: 2)
“Saya berkata: “Allah SWT telah mengetahui bahwa hamba-Nya tidak dapat memuji-Nya sebagaimana mestinya, sehingga Dia memuji sendiri diri-Nya. Di waktu Dia telah menciptakan segala entitas kehidupan, maka hal ini menghendaki mereka untuk memuji-Nya dengan pujian-Nya, sehingga Dia berfirman: “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” Artinya, segala puji untuk-Nya semata yang memuji diri-Nya dengan pujian tersebut yang dikhususkan untuk-Nya, bukan untuk selain dari Dia. Olehnya itu, Alif dan Lam pada (الْحَمْد) menyiratkan bahwa para pemerhati Al-Qur’an telah mengetahui dengan begitu dekatnya makna pujian ini yang hanya patut dilantunkan untuk Zat yang Maha Agung dan Suci.” (Lâtaif al-Minan, Ibn Atâillah as-Sakandarî).
Jika Anda bertanya: “kenapa hamdalah dianjurkan untuk diucapkan setelah menegakkan shalat lima waktu dan di waktu-waktu lain, bukankah dengan ibadah fisik tersebut merupakan bentuk pujian tersendiri terhadap-Nya?”
Kepada Anda saya memberikan jawaban seperti ini:
Kehadiran kita di muka bumi ini yang lahir dari ketidakadaan, indera perasa di lidah yang mampu membedakan seribu satu jenis tingkat rasa yang bahasa manusia sendiri lemah untuk memberikan penamaan tersendiri dari setiap rasa tersebut, pengetahuan manusia terhadap kosmos dan hakikat penciptaan seluruh entitas kehidupan, tarikan dan hembusan nafas tiap detik yang dinikmati gratis, fasilitas-fasilitas kehidupan, seperti: air, api, tanah, dan udara, memberikan layanan jasa gratis tanpa menampakkan keengganan dan pembangkangan terhadap segala bentuk keinginan makhluk, siklus darah pada denyut jantung yang memperdengarkan detakan halus secara sistematis dan spontanitas yang melebihi keteraturan alur simfoni musik yang dipertunjukkan oleh orkes dengan komposisi musik pada setiap alat, sehelai rambut yang rontok dan terganti dengan rambut lain yang lebih kuat tanpa campur tangan bahan-bahan kimia, kulit mati terganti dengan kulit yang lebih segar dan meremaja tanpa menjalani operasi kulit, kulit wajah yang senantiasa menjaga kebugarannya di pagi hari tanpa bantuan operasi kulit, panca indera yang menjalankan fungsi mereka tanpa menunggu perintah dari pihak manapun, tubuh yang punya kepekaan tersendiri di luar dari jangkauan pengetahuan manusia, dan masih banyak lagi yang menanti penuturan seperti ini. Semua itu menghendaki manusia bangkit dari alam kelalaian dan kelupaan untuk memuji Allah dengan segala potensi diri yang ada dalam diri mereka.
Mari kita melihat secara saksama kedalaman makna hamdalah di dalam Al-Qur’an:
Hamdalah yang datang di dalam Al-Qur’an baik dalam bentuk pemberitaan ataupun perintah terpaparkan dalam bentuk kata benda verbal (masdar), yaitu: الْحَمْد, seperti pada surat Yunus: 10 dan Al-Isra’: 111.
Hamdalah tidak pernah diberitakan dalam bentuk kata kerja apa pun, baik itu lampau, sekarang, dan yang akan datang. Ini menyiratkan bahwa pujian tersebut wajib dilantunkan tiap saat tanpa dibatasi oleh ruang waktu dan tempat.
Olehnya itu, nikmat keislaman yang memberikan tuntunan kehidupan yang baik dan benar, ketenteraman dan kedamaian jiwa, dan keselamatan fisik, harta, harkat dan martabat, merupakan puncak kenikmatan yang senantiasa menghendaki manusia melantunkan pujian di segala kesempatan.
Penerapan hamdalah tidak sebatas pengucapan saja, tetapi ia dapat diaplikasikan dalam praktek kehidupan yang lebih luas lagi. Alhamdulillah bukan hanya diucapkan setelah makan dan minum, atau setelah merasakan satu bentuk kenikmatan, tetapi ia merupakan simbol kesempurnaan dari kemusliman seseorang yang senantiasa merasakan nikmat Allah setiap waktu, karena dengan terciptanya kesadaran diri terhadap nikmat tersebut meski tidak nampak di kasat mata merupakan kenikmatan tersendiri, yang dengan sendirinya dapat menjadi motivasi terhadap lahirnya manusia-manusia yang senantiasa merasakan keberadaan dan kedekatan Sang Maha Pencipta di sisinya. Dan pastinya, kedekatan tersebut menjadi proteksi tersendiri terhadap manusia untuk tidak melakukan segala bentuk kemaksiatan yang meruntuhkan segala bentuk pujian yang telah dilantunkan kepada Allah Ta'ala dari segala bentuk kenikmatan yang telah diberi.

Sumber: artikel H. Muhammad Widus Sempo, MA., dakwatuna.com
Previous Post Next Post