Alhamdulillah, wash-shalatu
was-salamu ’ala Sayyidina Rasulillah, wa ’ala alihi, wa shahbihi, wa man
waalaah, wa laa haula wa laa quwwata illa billah. Amma ba’du.
Dengan ini kami menyerukan dan mengajak seluruh
kaum muslimin dimanapun berada, wabil khusus para ulama, kyai, ustadz dan
tokoh, untuk bersepakat dalam menyikapi fenomena perbedaan pendapat dan
madzhab diantara para imam dan ulama Ahlussunnah Waljamaah, dalam masalah-masalah khilafiyah ijtihadiyah, dengan butir-butir penyikapan dan kesepakatan sebagai berikut:
madzhab diantara para imam dan ulama Ahlussunnah Waljamaah, dalam masalah-masalah khilafiyah ijtihadiyah, dengan butir-butir penyikapan dan kesepakatan sebagai berikut:
Pertama, kita
semua sepakat menerima, mengakui dan mentolerir adanya perbedaan pendapat para
imam dan ulama itu, sebagai hal yang normal dan wajar, karena ia merupakan buah
alami dan konsekuensi logis dari ijtihad mereka. Serta sepakat menyikapi
seluruh madzhab ulama Ahlussaunnah Waljamaah sebagai pilihan-pilihan yang
secara umum ditolerir bagi siapapun untuk mengambil, menganut dan mengikuti
madzhab manapun diantaranya.
Kedua, kita
sepakat untuk selalu berusaha melakukan pemilihan diantara pendapat-pendapat
dan madzhab-madzhab yang mu’tabar (diakui) itu secara bertanggung jawab,
sesuai kapasitas dan kemampuan masing-masing. Dimana bagi ulama mujtahid, andai
ada, pilihan harus dilakukan berdasarkan hasil ijtihad pribadinya sendiri.
Sedangkan bagi kalangan penuntut ilmu syar’i, yang telah mampu memahami dalil
dan mendalami istidlal para ulama, pilihan didapat melalui jalan ber-ittiba’,
yakni dengan mengikuti madzhab imam mujtahid disertai pemahaman akan dalilnya,
dan atau dengan melakukan pengkajian serta perbandingan untuk menentukan
pendapat yang rajih (kuat) menurutnya. Adapun bagi kaum muslimin
kebanyakan yang awam sama sekali, maka batas kemampuan mereka hanyalah
ber-taqlid, yakni mengikuti ulama rujukan terpercaya yang diakui kapasitas dan
kredibilitasnya, meskipun tanpa harus tahu dalilnya dan paham istidlal-nya.
Yang penting dalam ber-taqlid ini, minimal ada dua syarat utamanya, yaitu:
bahwa ulama yang ditaqlidi dan diikuti adalah ulama yang terbukti mumpuni
dan tepat, serta bahwa taqlid dilakukan secara tulus dan ikhlas, yakni tidak
dalam rangka memperturutkan hawa nafsu, misalnya dengan sekedar tatabbu’ur-rukhash
(nyari-nyari yang serba ringan dan nyaman saja).
Ketiga, kita
sepakat melihat dan menyikapi pendapat atau madzhab yang akhirnya dipilih dan
diikuti oleh masing-masing diantara kita, sesuai cara dan pola yang telah
disebutkan diatas, sebagai sebuah pilihan opsional dan bukan
sebagai sebuah keyakinan mutlak dan pasti! Oleh karenanya, kita sepakat
untuk tidak menunjukkan sikap mutlak-mutlakan terhadap pendapat yang
kita pilih, begitu pula terhadap pendapat serta madzhab yang lain. Juga tidak
menyikapi masalah khilafiyah ijtihadiyah ini dengan pola pendekatan
haq-batil, atau sunnah-bid’ah, atau lurus-sesat, atau wala’ (cinta) dan bara’
(benci)! Namun selalu mengedepankan dan menonjolkan sikap toleransi sesuai
tuntutan kebutuhan dan kemaslahatan, di bawah naungan prinsip ukhuwah
islamiyah, dan berlandaskan semangat persatuan dan penyatuan ummat.
Keempat, kita
semua sepakat untuk tetap dan senantiasa mengutamakan, mengedepankan dan
memprioritaskan masalah-masalah ushul (prinsip) yang telah disepakati
atas masalah-masalah furu’ (non prinsip) yang diperselisihkan. Atau
dengan kata lain, kita wajib selalu mengutamakan dan mendahulukan
masalah-masalah ijma’ atas masalah-masalah khilafiyah. Sehingga jangan sampai
perhatian dan kesibukan kita yang besar terhadap masalah-masalah khilafiyah,
mengalahkan dan mengorbankan perhatian serta kesibukan kita terhadap
masalah-masalah pokok yang disepakati.
Kelima, kita
sepakat bahwa, untuk praktik pribadi, dan dalam masalah-masalah khilafiyah yang
bersifat personal individual, masing-masing kita berhak mengikuti dan
memgamalkan pendapat atau madzhab yang rajih (kuat) menurut pilihannya.
Meskipun sangat afdhal pula jika ia memilih sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath)
dalam rangka menghindari ikhtilaf (perbedaan pendapat), sesuai dengan
kaidah ”al-khuruj minal khilaf mustahabb” (keluar dan lepas dari wilayah
khilafiyah adalah sangat dianjurkan). Sementara itu terhadap orang lain dan
atau dalam hal-hal khilafiyah yang terkait dengan kemaslahatan bersama, kita
semua sepakat untuk mengambil sikap melonggarkan dan bertoleransi (tausi’ah
& tasamuh). Atau dengan kata lain, jika kaidah dan sikap dasar dalam
masalah-masalah khilafiyah yang bersifat personal individual, adalah
melaksanakan yang rajih menurut pilihan kita masing-masing. Maka kaidah
dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat kebersamaan,
kejamaahan, kemasyarakatan, dan keummatan, adalah dengan mengedepankan sikap
toleransi dan bahkan kompromi. Termasuk sampai pada tingkat kesiapan untuk
mengikuti dan melaksanakan pendapat atau madzhab lain yang menurut kita marjuh
(lemah) sekalipun, jika memang ada kemaslahatan tertentu untuk itu.
Keenam, kita
semua sepakat untuk menjadikan masalah-masalah ushul (prinsip) yang
disepakati, yakni masalah-masalah ijma’ – dan bukan masalah-masalah furu’
ijtihadiyah khilafiyah – sebagai standar komitmen dan ukuran keistiqamahan
seorang muslim. Jadi tidak dibenarkan misalnya bila kita menilai seseorang itu
istiqamah atau tidak dan komit atau tidak, berdasarkan standar masalah-masalah
khilafiyah. Sehingga misalnya akan dinilai istiqamah dan komit jika ia
mengikuti madzhab atau pendapat tertentu, sementara akan dinilai tidak
istiqamah dan tidak komit jika menganut madzhab atau pendapat yang lain. Namun
yang benar adalah bahwa, siapapun yang menjalankan ajaran Islam sesuai standar
batasan prinsip-prinsip yang disepakati, maka ia adalah orang Islam yang
istiqamah dan komit, apapun madzhab atau pendapat di antara madzhab-madzhab
atau pendapat-pendapat ulama mu’tabar, yang diikuti dan dianutnya.
Ketujuh, kita
harus sepakat untuk senantiasa menjaga agar ikhtilaf (perbedaan)
diantara kita dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah, tetap berada di
wilayah wacana pemikiran dan wawasan keilmuan serta pemahaman saja, dan tidak
masuk atau berpindah ke wilayah hati. Agar perbedaan kita itu tetap sebagai
perbedaan keragaman (ikhtilafut-tanawwu’) yang ditolerir bahkan indah,
dan tidak berubah menjadi perselisihan perpecahan (ikhtilafut-tafarruq)
yang tercela, dan yang akan merusak ukhuwah serta melemahkan sikap saling tsiqoh
(percaya) di antara sesama kaum mukminin.
Kedelapan, kita
semua sepakat untuk menyikapi orang lain, kelompok lain atau penganut nadzhab
lain, dalam konteks khilafiyah dimaksud, sesuai dan berdasarkan kaidah
penyikapan berikut ini: Perlakukan dan sikapilah orang lain, kelompok lain
dan penganut madzhab lain sebagaimana engkau, kelompok dan madzhabmu ingin
diperlakukan dan disikapi! Serta janganlah memperlakukan dan menyikapi orang
lain, kelompok lain dan pengikut madzhab lain dengan perlakuan dan penyikapan
yang tidak engkau inginkan dan tidak engkau sukai untuk dirimu, kelompokmu atau
madzhabmu! Dan ini tidak lain adalah salah satu bentuk penerapan terhadap
makna dan kandungan hadits terkenal (yang artinya): “Tidaklah sempurna iman
seseorang di antara kamu sampai ia menyukai untuk saudaranya apa-apa yang ia
sukai untuk dirinya sendiri” (HR. Muttafaq ‘alaih dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu).
Kesembilan, kita
semua harus sepakat untuk menilai, menyikapi dan memperlakukan praktik
penganut, pengikut atau pemilih madzhab lain, berdasarkan sudut pandang madzhab
yang bersangkutan, dan bukan berdasarkan sudut pandang madzhab kita, yang tentu
saja berbeda dan bahkan bertentangan dengannya. Karena hanya dengan prinsip dan
cara pandang seperti inilah, kita bisa memiliki sikap toleransi dan bahkan
kompromi dalam masalah-masalah khilafiyah ijtihadiyah, seperti yang
telah disebutkan diatas. Dan sekaligus hanya prinsip dan cara pandang ini
pulalah yang bisa menjelaskan dan menafsirkan sikap toleransi dan kompromi para
ulama salaf dalam hal-hal khilafiyah ijtihadiyah, yang bahkan sampai
pada tingkat kesiapan mereka – dalam kondisi-kondisi tertentu – untuk
“mengalah” dan mengikuti pendapat atau madzhab imam mujtahid lain, seperti
dalam banyak contoh dan teladan dari sirah mereka.
Akhirnya, marilah kita semua berdoa dengan tulus,
ikhlas, khusyu’, tawadhu’ dan sungguh-sungguh :
Allaahumma Rabba Jibraa-iil wa
Miikaa-iil wa Israafiil, Faathiras-samaawaati wal-ardh, ‘Aalimal ghaibi
wasy-syahaadah, Anta tahkumu baina ‘ibaadika fiimaa kaanuu fiihi yakhtalifuun.
Ihdinaa lima-khtulifa fiihi minal-haqqi bi-idznik, innaka tahdii man tasyaa-u
ilaa shiraathim-mustaqiim!
(Ya Allah, Rabb Jibrail, Mikail dan Israfil,
Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui alam ghaib dan alam nyata,
Engkau-lah Yang memutuskan diantara hamba-hamba-Mu, dalam (hal-hal) yang mereka
perselisihkan. Tunjukilah kami pada kebenaran dalam (hal-hal) yang diperselisihkan
itu, dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau-lah Yang memberi petunjuk bagi orang
yang Engkau kehendaki, kepada jalan yang lurus!)
Subhaanakal-Laahumma wa
bihamdika, asyhadu allaa ilaaha illaa Anta, astaghfiruka, wa atuubu ilaik!
Wallahul Muwaffiq ilaa aqwamith-thariiq,
wa Huwal Haadii ilaa sawaa-issabiil.
Wa aakhiru da’waanaa anil-hamdu
lillahi Rabbil-’aalamiin.
Wa shallallahu wa sallama ’alaa
sayyidina Muhammad wa ’alaa aalihi wa shahbihi ajma’iin.
(Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri, Lc. MA.)
Post a Comment