Profesional secara syariah
artinya mengelola suatu perusahaan dengan amanah. Profesionalisme dalam Islam,
dijelaskan dalam Alquran surat al-Qashash ayat 26. Dalam satu kisah yang sangat
menarik, ketika putri Nabi Syu’aib memohon kepada ayahandanya agar berkenan
mempekerjakan Musa AS sebagai sosok profesional muda yang qowiy’,
(profesional). ”Wahai ayahandaku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada
perusahaan kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil
untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang qowiy’
(profesional).”
Ada dua faktor yang melekat
pada diri Musa AS dalam mengelola bisnis syariah yang diamanahkan kepadanya,
yaitu kejujuran dan keahliannya. Dua faktor ini merupakan kata kunci
profesionalisme dalam bisnis Islami. Dalam hal kejujuran, Syekh Yusuf
AlQardhawi dalam bukunya Musykilah al-Faqr wa Kaifa ‘alaa Jahala al-Islam,
mengatakan al-amanah ‘kejujuran’ merupakan puncak moralitas iman dan
karakteristik yang paling menonjol dari orang-orang beriman. Tanpa kejujuran,
agama tidak akan berdiri tegak dan kehidupan dunia tidak akan berjalan baik.
Karena itu, mengelola bisnis secara jujur merupakan pancaran dari nilai iman
yang dimiliki seorang pebisnis. Ia tidak biasa berdusta, apalagi memanipulasi
laporan. Ia juga tidak melakukan kolusi, memberi suap, KKN, dan segala macam
penyimpangan lainnya, karena ini merupakan pancaran nilai-nilai kejujuran.
Allah SWT menempatkan pekerja profesional, yang menerapkan nilai-nilai
kejujuran dalam berbisnis pada tempat yang amat spesial. Dalam sebuah hadits dari Imam at Tirmidzi, Nabi bersabda, ”Pedagang yang jujur dan
dapat dipercaya (amanah) adalah bersama para Nabi, Orang-orang yang membenarkan
risalah Nabi saw (shiddiqin), dan para Syuhada (orang yang mati syahid).”
Karakteristik selanjutnya
tentang profesionalisme Islami adalah menempatkan seseorang benar-benar sesuai
dengan keahlinya. Rasulullah dan para sahabat benar-benar mengimplementasikan
nilai-nilai yang mulia ini dalam kepemimpinannya. Kita dapati Rasulullah yang
mulia pernah memilih Mu’adz bin Jabbal menjadi gubernur Yaman, karena
leadership-nya yang baik, kecerdasan dan akhlaknya. Beliau memilih Umar
mengatur sedekah karena adil dan tegasnya, memilih Khalid bin Walid menjadi
panglima karena kemahirannya dalam berperang, memilih Bilal menjaga Baitulmal
karena amanah dan kelihaiannya dalam mengurus, memilih Anis sebagai eksekutor
dalam hukuman karena kemampuan fisiknya, begitu seterusnya. Namun, beliau
menolak Abu Dzar, karena selain fisiknya lemah, juga tidak memiliki leadership
yang baik. Padahal siapa yang menyangsikan ke sholehan Abu dzar dari kalangan
sahabat Nabi. Tentu, menempatan ini tidak didasari lobi karena partai,
keluarga, apalagi sukuisme. Semuanya atas dasar profesionalisme. Allah
berfirman, ”Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk memberikan wewenang
(amanah) kepada ahlinya.” (an-Nisa: 58). Nabi dalam hadits Bukhari, bahkan
lebih jelas tentang hal ini, ”Apabila urusan (manajemen) diserahkan kepada yang
bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” Inilah profesionalisme dalam bisnis
syariah. Jika Anda seorang praktisi syariah, atau siapa saja yang ingin
mengelola bisnisnya secara syariah, maka secara sederhana menerapkan prinsip
profesionalisme yang Islami, paling tidak mengacu kepada dua
faktor diatas.
(RoL)
Post a Comment