Menyegarkan Kembali Semangat Tafaqquh Fid-diin


Mari kita segarkan kembali semangat tafaqquh fiddin. Mulai dari diri sendiri! Mari kita tanamkan kebiasaan, sikap dan nilai yang baik berkaitan dengan thalabul ilmi.
Tidak ada manusia yang lahir dalam keadaan pintar, mahir, dan ahli. Semua manusia lahir dalam keadaan tidak mengetahui suatu apa pun. Hal ini dijelaskan Allah SWT dengan firman-Nya, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (An-Nahl, 16: 78).
Manusia akan menjadi berilmu manakala mampu memanfaatkan pendengaran, penglihatan, dan hatinya dengan baik. Ia harus mencari ilmu dan terus mencari. Sadarilah, ilmu tidak akan pernah datang menghampiri.
Marilah kita teladani para salafu shalih. Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu pergi ke Syam menempuh perjalanan selama satu bulan hanya untuk mendengarkan satu hadits saja dari Abdullah bin Unais radhiyallahu ‘anhu. Hadits tersebut ialah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya manusia itu nanti akan dibangkitkan di hari kiamat dalam keadaan tidak memakai alas kaki, tidak memakai pakaian dan tidak dikhitan”.[1]
Sedangkan Abu Ayyub Al-Anshori pergi dari Madinah ke Mesir menemui ‘Uqbah bin Amir hanya untuk mendengarkan satu hadits saja yaitu sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa menutup aib saudara muslimnya di dunia, maka Allah akan menutup aibnya di hari kiamat”.[2]
Abul ‘Aliyah berkata: “Kalau kami mendengar sebuah hadits itu datang dari seorang sahabat, maka kami tidak puas kecuali kami pergi menemui sahabat yang memiliki hadits tersebut”.[3]
Membiasakan Menghafal
Kita tidak akan mampu membawa ilmu kalau ilmu tersebut hanya ada dalam catatan. Maka membiasakan menghafal adalah satu sikap yang harus dipegang teguh.
Abu Zur’ah berkata, “Adalah Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits”. Berkata Sulaiman bin Syu’bah: “Sesungguhnya murid-murid Abu Dawud menyalin hadits dari Abu Dawud sebanyak 40.000 hadits. Sedangkan Abu Dawud tidak memiliki buku”. Sementara itu Abu Zur’ah Arrazi berkata: “Aku hafal 200.000 hadits seperti bagaimana orang lain menghafal surat Al-Ikhlash”. [4]
Membiasakan Menulis
Karena membuat karya tulis akan memperkuat kapasitas keilmuan. Inilah budaya yang harus dikembangkan di tengah-tengah ummat, khususnya di kalangan aktivis dakwah.
Ibnul ‘Arabi menulis dalam bidang tafsir sebanyak 80 juz (di luar karyanya yang lain dalam bidang Ushul, Hadits, dan juga Tarikh). Ibnu Abi Dunya menulis 1.000 karya tulis. Imam Hakim menulis lebih dari 1.000 macam. Ibnu Asakir menulis dalam bidang Tarikh sebanyak 80 jilid. [5]
Menjaga semangat Menuntut Ilmu
Menuntut ilmu dan mengembangkannya memerlukan semangat yang besar. Semangat musiman tidak akan mungkin dapat diandalkan untuk membangun kapasitas ilmu.
Ibnul ‘Aqil Al-Hambali berkata: “Sesungguhnya semangatku untuk menuntut ilmu di usiaku yang 80 tahun sama dengan semangatku ketika usiaku baru 20 tahun”.
Semangat itu sangat diperlukan sebagai modal awal menuntut ilmu. Suatu hari Ibnu Jarir Atthabari menawarkan kepada murid-murid dan teman-temannya: “Maukah kalian belajat tafsir?” Mereka menjawab: “Berapa banyaknya?” Atthabari menjawab: “30.000 lembar”. Murid-muridnya itu pun berkata: “Sungguh itu adalah jumlah yang sangat banyak yang mungkin usia kita akan habis sementara ia belum selesai.” Maka diringkaslah oleh Atthabari menjadi 3.000 lembar. Kemudian ketika mereka ditanya tentang apakah mereka mau belajar sejarah manusia semenjak masa Adam hingga masanya, mereka pun menjawab dengan hal yang sama. Mendengar hal itu berkatalah Atthabari: “Sungguh telah mati semangat dan kemauan kalian!” Kemudian ia meringkas sejarah itu menjadi sekitar 3.000 lembar pula.
Imam Syafi’i pernah ditanya, “Bagaimanakah semangat Anda menuntut ilmu?” Beliau menjawab, “Saya mendengarkan huruf demi huruf seakan-akan huruf-huruf itu belum pernah saya temukan selama ini. Karena itu saya kerahkan seluruh anggota tubuh saya untuk menyimaknya.”
Beliau ditanya lagi, “Bagaimana minat Anda terhadap ilmu?” Imam Syafi’i menjawab, “Minat saya laksana orang mengumpulkan makanan dan berambisi menikmati kelezatannya secara sempurna.”
“Lalu bagaimana Anda mencarinya?” lanjut si penanya, “Saya mencarinya laksana seorang wanita yang kehilangan anak satu-satunya yang di dunia ini ia tidak memiliki apa pun selain dia.” Jawab Imam Syafi’i.[6]
Ibnu Mas’ud berkata, “Ketahuilah bahwa tidak ada satupun diantara kalian yang dilahirkan dalam keadaan berilmu. Sesungguhnya ilmu itu diperoleh dengan jalan belajar. Maka jadikanlah dirimu sebagai orang yang ahli ilmu, atau orang yang menuntutnya, atau orang yangmendengarkannya. Belajarlah kalian, karena sesungguhnya kalian tidak tahu kapan ilmu kalian itu akan dibutuhkan”. [7]
Merenung, Berbuat, dan Berfikir dalam Ilmu
Aktivitas peningkatan dan pencarian ilmu perlu dilakukan setiap saat. Sehingga kita hendaknya merenung dalam ilmu, berbuat dalam ilmu, dan berfikir dalam ilmu.
Ibnu ‘Aqil Al-Hambali berkata, “Sesungguhnya tidak benar bagiku jika menyia-nyiakan waktu walau sesaat dari usiaku. Kalaupun lisanku berhenti dari menghafal, atau mataku berhenti dari membaca, maka aku menyibukkan fikiranku pada saat istirahatku itu hingga ketika aku bangun pasti telah kumiliki dalam diriku apa yang akan aku tulis kemudian”.
Imam Bukhari apabila terjaga dari tidurnya, maka ia menyalakan lenteranya kemudian menulis apa-apa yang terbetik dalam dirinya dari berbagai ilmu. Kemudian ia tidur dan begitu seterusnya sampai kadang-kadang dalam satu malam ia melakukan hal itu sebanyak 20 kali.
Imam Juwaini berkata, “Biasanya aku tidak pernah tidur dan makan. Tetapi aku tidur karena tertidur dan makan karena aku memang membutuhkannya. Sehingga aku tidur dan makan kapan saja. Karena kenikmatanku ada pada menuntut ilmu.”
Menuntut Ilmu Sepanjang Hayat
Generasi terdahulu telah memberikan teladan yang baik. Mereka mengajarkan kepada kita bahwa selama manusia masih bisa mencari ilmu, maka ia harus terus melakukannya.
Muhammad bin Ishaq telah mengambil ilmu dari 1700 orang guru. Ia pergi menuntut ilmu dalam usia 20 tahun dan pulang dalam usia 40 tahun. Sedangkan Imam Bukhari mengambil ilmu lebih dari 1000 orang Syaikh.
Ada sebuah kisah mengharukan tentang semangat menuntut ilmu. Menjelang wafatnya Ibnu Jarir Atthabari mendengar do’a yang diriwayatkan oleh Ja’far bin Muhammad. Ia kemudia meminta orang yang ada di sekitarnya untuk mengambilkan pena dan kertas. Orang-orang pun berkata kepadanya, “Kondisimu sudah seperti ini, tidak usahlah melakukannya.” Atthabari kemudian menjawab, “Tidak semestinya seseorang meninggalkan datangnya ilmu meskipun sampai mati”. Beberapa saat kemudian beliau pun wafat.
Menjadi bangsa yang besar dengan Ilmu
Hari ini kita mungkin dalam keadaan terhina dan terpuruk. Tetapi jangan pesimis, karena tidak lama lagi kita akan segera bangkit dan memimpin dunia, menjadi ustadziyatul alam (guru dunia).
Di kedua tangan kita ada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber petunjuk yang memberkahi ilmu yang kita miliki. Tugas kita saat ini adalah belajar dan terus belajar.
Al-Hasan bin Ali berkata, “Belajarlah kalian, tuntutlah ilmu, sesungguhnya jika kini kalian adalah orang-orang yang kecil dan tidak diperhitungkan manusia, maka kelak kalian akan menjadi orang-orang besar yang diperlukan manusia.” [8]
Tanamkanlah semangat di dalam dadamu wahai muslimin! Mari kita rem nafsu menghambur-hamburkan waktu dengan hal-hal yang tidak perlu. Sungguh, fajar kemenangan bukanlah impian, jika kita mau belajar, menuntut ilmu, dan ber-tafaqquh fiddin.
Catatan Kaki:
[1] Riwayat Muslim dari Aisyah (2589)
[2] Riwayat Bukhari (2310), Muslim (2580)
[3] Thabaqah Ibnu Sa’ad, VII/122
[4] Sifatusshofwah, II/337, IV/88
[5] Al-Ilmu Dhorurah Syar’iyyah, Dr. Nashir Al-Umar hal. 22 – 25.
[6] Tarikh Baghdad
[7] Al-Adab Assyar’iyyah, Ibnul Muflih II/34
[8] Jami’u bayanil ‘ilmi, Ibnu Abdul Barr I/82
(al-intima.com)
Previous Post Next Post