Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya): “Dan apapun bentuk musibah yang menimpa kalian, maka
itu adalah disebabkan oleh ulah tangan-tangan kalian sendiri, padahal Allah
memaafkan (menutupi dan tidak menghukum) sebagian besar yang lain (diantara
kesalahan-kesalahan kalian)” (QS. Asy-Syura [42]: 30)
Kita tidak bisa
membayangkan seandainya seluruh kesalahan, kelalaian, keteledoran, pelanggaran,
kemaksiatan dan dosa kita, disingkap dan dibeber semuanya serta dihukum
setimpal oleh Allah Ta’ala di dalam hidup di dunia ini! (lihat misalnya QS.
An-Nahl [16]: 61) dan QS. Fathir [35]: 45). Allahumma ‘afwaka..! (Ya Allah,
ampunan-Mu-lah yang selalu kami harap..!)
Ini yang sering
saya katakan bahwa, saat tertimpa ujian musibah buruk yang biasanya seseorang
akan diingatkan agar banyak bersabar dalam menghadapinya, dengan sedikit tafakkur,
perenungan dan muhasabah (introspeksi/evaluasi diri), kita akan segera tersadar
bahwa, ternyata justru sikap syukur-lah yang lebih butuh dihadirkan disitu!
Demi mengingat dan menyadari betapa masih lebih banyak dan lebih dominan
dosa-dosa yang Allah maafkan dan ampuni, minimal dengan menutupinya dan tidak
membeberkan kebanyakannya. Belum lagi bila mengingat dan menyadari pula beragam
karunia kenikmatan dan kerahmatan tak terhingga yang masih tetap Dia limpah
ruahkan kepada kita, ditengah kemaksiatan dan dosa-dosa kita! Namun betapa
seringnya kita melalaikannya?!
Sebagaimana
sebaliknya, saat beroleh ujian baik berupa kenikmatan yang menyenangkan, dimana
biasanya akan dinasehatkan agar kita banyak bersyukur atasnya, dengan sedikit
tafakkur dan perenungan pula, kitapun akan segera ingat dan sadar bahwa, dalam
menerima, menyikapi dan mempertanggung jawabkan kenikmatan tersebut, sangat
boleh jadi ternyata justru sifat dan sikap sabarlah yang lebih dituntut disana,
daripada syukur!
Karena sabar
dan syukur memang harus senantiasa bergandengan, dalam kondisi dan situasi
apapun, dan tidak mungkin dipisahkan satu sama lain. Sebab salah satunya memang
merupakan sarana utama, landasan dan bahkan syarat bagi yang lainnya.
Sifat sabar adalah sarana utama, landasan dan bahkan syarat bagi syukur. Begitu
pula sebaliknya, sifat syukur merupakan sarana utama, landasan, dan bahkan
syarat bagi sikap sabar. Atau dengan kata dan ungkapan lain, tiada sabar tanpa
syukur, dan tiada syukur tanpa sabar. Sehingga hanya orang pandai bersyukurlah
yang mampu benar-benar bersabar saat tertimpa ujian keburukan berupa musibah
yang menyusahkan! Demikian pula, hanya orang sabarlah yang mampu benar-benar
bersyukur atas ujian kebaikan berupa kenikmatan yang menyenangkan!
Oleh karena
itu, di kala Allah menimpakan musibah buruk dan berat yang menyesakkan,
disamping tentu saja harus istiqamah dan tsabat (teguh) dalam menghadapinya
dengan penuh kesabaran, mari tak henti pula memuji Allah Ta’ala dan bersyukur
kepada-Nya, dengan pujian dan sikap syukur yang sebenar-benarnya. Bukan
bersyukur atas musibah yang melanda. Melainkan bersyukur karena kita sadar
bahwa, yang Allah tutupi diantara kesalahanan-kesalahan kita,
kelalaian-kelalaian kita, keteledoran-keteledoran kita, pelanggaran-pelanggaran
kita, kemaksiatan-kemaksiatan kita, dan dosa-dosa kita, baik yang syar’i
(pelanggaran terhadap ketentuan hukum syariah Allah) maupun yang kauni
(pelanggaran terhadap ketentuan hukum sunnatullah yang berlaku di alam ini),…ya
ternyata apa yang Allah tutupi tetaplah masih jauh lebih banyak dan lebih
dominan, daripada yang Allah singkap, Allah beber dan Allah hukum! Belum lagi
bila musibah yang menimpa itu, sebesar dan seberat apapun, yang tiada lain juga
akibat kesalahan, keteledoran, kelalaian, kemaksiatan dan dosa kita-kita
sendiri…bila dibandingkan dengan berlimpah anugerah kenikmatan dan kerahmatan
yang masih tetap Allah pertahankan dan curahkan kepada kita, dalam berbagai
aspek dengan beragam bentuknya dalam hidup ini! Dan hasilnya? Tentu saja sangat
tidak sebanding sama sekali, dan bahwa, musibah yang terjadi itu sangatlah
tidak ada apa-apanya sama sekali!
Nah, jika
demikian halnya, maka bukankah benar bahwa, saat musibah menimpa, dengan
sedikit perenungan saja, ternyata kita lebih butuh bersyukur daripada bersabar?
Ada yang setuju
dengan saya?
(Ahmad Muzhoffar Jufri, Lc. MA.)
Post a Comment