Berikut
ini adalah amalan yang sesuai sunah Nabi, baik sunah qauliyah dan fi’liyah
yang bisa kita lakukan selama bulan Ramadhan.
3.
Bersedekah
Nabi SAW.
sebagai teladan kita telah mencontohkan akhlak yang luar biasa yaitu
kedermawanan. Hal itu semakin menjadi-jadi ketika bulan Ramadhan.
Ibnu
‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, menceritakan:
كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَأَجْوَدُ مَا
يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ
السَّلَام يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ
فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ
الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
Nabi SAW.
adalah manusia yang paling dermawan, dan kedermawanannya semakin
menjadi-jadi saat Ramadhan apalagi ketika Jibril menemuinya. Dan, Jibril
menemuinya setiap malam bulan Ramadhan dia bertadarus Al-Quran bersamanya.
Maka, Rasulullah SAW. benar-benar sangat dermawan dengan kebaikan
laksana angin yang berhembus. (HR. Bukhari No. 3220)

4.
Memberikan makanan buat orang yang berbuka puasa
Dari Zaid
bin Khalid Al-Juhani Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
مَنْ
فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ
أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
Barang
siapa yang memberikan makanan untuk berbuka bagi orang berpuasa maka dia akan
mendapatkan pahala sebagaimana orang tersebut, tanpa mengurangi sedikit pun
pahala orang itu. (HR. At Tirmidzi No. 807, katanya: hasan shahih. Ahmad
No. 21676, An-Nasa’i dalam As Sunan Al-Kubra No. 3332. Al-Baihaqi dalam Syu’abul
Iman No. 3952. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ No.
6415. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan: hasan lighairih. Lihat
ta’liq Musnad Ahmad No. 21676, Al-Bazzar dalam Musnadnya No. 3775)
Para
ulama berbeda pendapat tentang batasan “memberikan makanan untuk berbuka”.
Sebagian menilai itu adalah makanan yang mengenyangkan selayaknya makanan yang
wajar. Sebagian lain mengatakan bahwa hal itu sudah cukup walau memberikan satu
butir kurma dan seteguk air. Pendapat yang lebih kuat adalah –Wallahu A’lam-
pendapat yang kedua, bahwa apa yang tertulis dalam hadits ini sudah mencukupi
walau sekadar memberikan seteguk air minum dan sebutir kurma, sebab hal itu
sudah cukup bagi seseorang dikatakan telah ifthar (berbuka puasa).
5.
Memperbanyak doa
Dari Abu
Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
ثَلَاثَةٌ
لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ
وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوم
Ada tiga
manusia yang doa mereka tidak akan ditolak: 1. Doa orang yang berpuasa sampai
dia berbuka, 2. Pemimpin yang adil, 3. Doa orang teraniaya. (HR. At Tirmidzi
No. 2526, 3598, katanya: hasan. Ibnu Hibban No. 7387, Imam Ibnul Mulqin
mengatakan: “hadits ini shahih.” Lihat Badrul Munir, 5/152.
Dishahihkan oleh Imam Al-Baihaqi. Lihat Shahih Kunuz As sunnah An-Nabawiyah,
1/85. Sementara Syaikh Al-Albani mendhaifkannya. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan
At Tirmidzi No. 2526)
Berdoa di
waktu berbuka puasa juga diajarkan oleh Nabi SAW. Berikut ini adalah
doanya:
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ
الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Adalah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika sedang berbuka puasa dia
membaca: “Dzahaba Azh Zhama’u wab talatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya
Allah.” (HR. Abu Daud No. 2357, Al-Baihaqi dalam As Sunan Al-Kubra
No. 7922, Ad-Daruquthni, 2/185, katanya: “isnadnya hasan.” An-Nasa’i
dalam As sunan Al-Kubra No. 3329, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak No.
1536, katanya: “Shahih sesuai syarat Bukhari- Muslim”. Al-Bazzar No.
4395. Dihasankan Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ No. 4678)
Sedangkan
doa berbuka puasa: Allahumma laka shumtu … dst, dengan berbagai macam
versinya telah didhaifkan para ulama, baik yang dari jalur Muadz bin Zuhrah
secara mursal, juga jalur Anas bin Malik, dan Ibnu Abbas. (Lihat Al-Hafizh
Ibnu Hajar, At Talkhish Al-Habir, 2/444-445. Imam An-Nawawi, Al-Adzkar,
1/62. Imam Abu Daud, Al-Maraasiil, 1/124, Imam Al-Haitsami, Majma’ Az
Zawaid, 3/371. Syaikh Al-Albani juga mendhaifkan dalam berbagai kitabnya)
6.
Menyegerakan berbuka puasa
Dari
‘Amru bin Maimun Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كان أصحاب
محمد صلى الله عليه و سلم أعجل الناس إفطارا وأبطأهم سحورا
Para
sahabat Muhammad SAW. adalah manusia yang paling bersegera dalam berbuka
puasa, dan paling akhir dalam sahurnya. (HR. Al-Baihaqi dalam As
Sunan Al-Kubra No. 7916. Al-Faryabi dalam Ash Shiyam No. 52. Ibnu
Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf No. 9025)
Imam
An-Nawawi mengatakan: “sanadnya shahih.” (Lihat Al-Majmu’ Syarh
Al-Muhadzdzab, 6/362), begitu pula dishahihkan oleh Imam Ibnu Abdil Bar,
bahkan menurutnya keshahihan hadits tentang bersegera buka puasa dan
mengakhirkan sahur adalah mutawatir. (Lihat Imam Al-‘Aini, ‘Umdatul
Qari, 17/9. Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/199)
7.
I’tikaf di – ‘asyrul awakhir
Dalilnya
berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah, dan Ijma’, yakni sebagai berikut:
وَلا
تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Janganlah
kalian mencampuri mereka (Istri), sedang kalian sedang I’tikaf di masjid. (Al-Baqarah : 187)
Dari
‘Aisyah Radiallahu ‘Anha:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ
الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ
أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Bahwasanya
Nabi SAW. beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau
diwafatka Allah, kemudian istri-istrinya pun I’tikaf setelah itu. (HR. Bukhari, No. 2026, Muslim
No. 1171, Abu Daud No. 2462. Ahmad No. 24613, dan lainnya)
Dari Abu
Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ
عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ
عِشْرِينَ يَوْمًا
Dahulu
Nabi SAW. I’tikaf di setiap Ramadhan 10 hari, tatkala pada tahun beliau
wafat, beliau I’tikaf 20 hari. (HR. Bukhari No. 694, Ahmad No. 8662, Ibnu
Hibban No. 2228, Al-Baghawi No. 839, Abu Ya’la No. 5843, Abu Nu’aim dalam Akhbar
Ashbahan, 2/53)
Syaikh
Sayyid Sabiq Rahimahullah menceritakan adanya ijma’ tentang syariat
I’tikaf:
وقد أجمع
العلماء على أنه مشروع، فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يعتكف في كل رمضان عشرة
أيام، فلما كان العام الذي قبض فيه اعتكف عشرين يوما.
Ulama
telah ijma’ bahwa I’tikaf adalah disyariatkan, Nabi SAW. beri’tikaf
setiap Ramadhan 10 hari, dan 20 hari ketika tahun beliau wafat. (Fiqhus
Sunnah, 1/475)
Hukumnya
Hukumnya
adalah sunnah alias tidak wajib, kecuali I’tikaf karena nazar. Kesunahan
ini juga berlaku bagi kaum wanita, dengan syarat aman dari fitnah, dan izin
dari walinya, dan masjidnya kondusif.
Imam
Asy-Syaukani Rahimahullah mengatakan:
وقد وقع
الإجماع على أنه ليس بواجب ، وعلى أنه لا يكون إلا في مسجد
Telah
terjadi ijma’ bahwa I’tikaf bukan kewajiban, dan bahwa dia tidak bisa
dilaksanakan kecuali di masjid. (Fathul Qadir, 1/245)
Namun
jika ada seorang yang bernazar untuk beri’tikaf, maka wajib baginya beri’tikaf.
Khadimus
Sunnah Asy
Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:
الاعتكاف
ينقسم إلى مسنون وإلى واجب، فالمسنون ما تطوع به المسلم تقربا إلى الله، وطلبا
لثوابه، واقتداء بالرسول صلوات الله وسلامه عليه، ويتأكد ذلك في العشر الاواخر من رمضان
لما تقدم، والاعتكاف الواجب ما أوجبه المرء على نفسه، إما بالنذر المطلق، مثل أن
يقول: لله علي أن أعتكف كذا، أو بالنذر المعلق كقوله: إن شفا الله مريضي لاعتكفن
كذا.
وفي صحيح
البخاري أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” من نذر أن يطيع الله فليطعه “
I’tikaf terbagi
menjadi dua bagian; sunah dan wajib. I’tikaf sunah adalah I’tikaf yang
dilakukan secara suka rela oleh seorang muslim dalam rangka taqarrub
ilallahi (mendekatkan diri kepada Allah), dalam rangka mencari pahala-Nya
dan mengikuti sunah Rasulullah SAW. Hal itu ditekankan pada 10 hari terakhir
bulan Ramadhan sebagaimana penjelasan sebelumnya.
I’tikaf
wajib adalah apa-apa yang diwajibkan seseorang atas dirinya sendiri, baik
karena nazar secara mutlak, seperti perkataan: wajib atasku untuk beri’tikaf
sekian karena Allah. Atau karena nazar yang mu’alaq (terkait dengan
sesuatu), seperti perkataan: jika Allah menyembuhkan penyakitku saya akan
I’tikaf sekian ..
Dalam
shahih Bukhari disebutkan, bahwa Nabi SAW. bersabda: “Barang siapa
yang bernadzar untuk mentaati Allah maka taatilah (tunaikanlah).” (Fiqhus
Sunnah, 1/475)
bersambung….
(Farid Nu’man Hasan - dakwatuna.com)
Post a Comment