(Polemik Pencabutan Izin perusahaan sawit oleh Bupati Kabupaten Sorong)
Oleh: Syaiful Maliki Arief,S.Hut.,M.Si.
(Anggota DPR Provinsi Papua Barat)
Dilansir oleh sejumlah media lokal dan nasional bahwa terjadi gugatan kepada Bupati Kabupaten Sorong John Kamuru ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura terkait pencabutan izin usaha sawit di kabupaten Sorong. Gugatan dilayangkan oleh tiga perusahaan yang kesemuanya mengelola perkebunan sawit di kabupaten Sorong.
Pasca pencabutan izin
tersebut muncul banyak pro dan kontra di kalangan masyarakat Kota dan Kabupaten
Sorong. Saya pun selaku anggota Dewan Provinsi Papua Barat sekaligus pemerhati
linkungan hidup, sangat mendukung langkah yang dilakukan Bupati Sorong untuk
mencabut izin dari 4 perusahaan sawit tersebut.
Pasalnya, mengingat
pentingnya hutan bagi masyarakat Papua dan dampak buruk perkebunan sawit bagi
keberadaan hutan di Papua. Seperti kita tahu bahwa hutan bagi masyarakat
Papua seperti ibu yang memberi
perlindungan dan makanan bagi anak-anaknya. Masih banyak masyarakat Papua yang
tinggal di dalam dan di sekitar hutan yang kehidupannya sangat tergantung
kepada hutan.
Bagi sebagian masyarakat Papua yang tinggal di sekitar hutan, sehari-harinya mereka makan dari sumber makanan
yang disediakan oleh alam. Makanan pokok
didapat dari menotok sagu di hutan sagu dan sayuran dari hasil berkebun disekitar hutan. Ikan didapat dari sungai-sungai yang mengalir jernih. Ditambah lagi
dengan perolehan binatang buruan di hutan. Mereka inilah yang mampu bertahan di era pandemi
Corona karena hutan telah
menyediakan apa yang mereka butuhkan
untuk hidup.
Saya tidak bisa
membayangkan bagaimana masyarakat bisa
hidup jika hutan mereka dirusak dengan dalih dijadikan area kelapa sawit. Memisahkan mereka dari hutan sama dengan
memisahkan mereka dari ibu yang menaungi dan memberi makan mereka, sementara
mereka belum siap untuk bersaing hidup sepenuhnya diperkotaan.
Cara pembukaan lahan yang dilakukan oleh perkebunan sawit dengan
pembukan hutan dan mengkonversinya menjadi perkebunan sawit dilakukan dengan cara
menebang habis hutan. Tidak hanya itu, seringkali pembukaan hutan
juga dilakukan dengan cara membakar
hutan.
Membakar hutan adalah
cara pembukaan lahan yang paling murah, tetapi dampaknya akan menyebabkan polusi udara. Asap yang diakibatkan pembakaran hutan juga
akan menyebabkan berbagai penyakit
seperti sesak nafas, radang tenggorokan, asma, bronkitis, penyakit paru dan
banyak penyakit lainnya. Hasil
pembakaran hutan juga akan melepaskan CO2 ke atmosfir menyebabkan efek rumah kaca akan
menyebabkan perubahan iklim atau climate change, kondisi ini akan
membuat bumi semakin panas dan air permukaan laut semakin naik.
Jika Hutan dihabiskan
maka tanah akan kehilangan tanaman
pelindungnya dan membuat tanah menjadi tidak stabil sehingga mudah mengalami
erosi. Di musim hujan akan terjadi banjir dan longsor sementara di musim kemarau terjadi kekeringan
akibat keringnya sumber-sumber air di dalam hutan. Selain hal tersebut, dalam
salah satu jurnal ilmiah menyebutkan bahwa setidaknya ada 9 dampak negatif yang
diperoleh dengan adanya perkebunan sawit.
Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan KPK sampai
dengan Januari 2021 ditemukan bahwa
terdapat pelanggaran berbagai perizinan. Tim KPK juga menemukan praktik
deforestasi hutan alam dan lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit,
pembukaan lahan dengan cara bakar, tidak tersalurkannya pemerataan ekonomi
kepada masyarakat sekitar areal konsesi, konflik tenurial, serta persoalan yang
muncul terkait dengan kewajiban pembangunan kebun plasma.
Dengan data tersebut serta dampak yang dapat diakibatkan dari keberadaan
perkebunan sawit yang tidak sesuai dengan standar ISPO (Indonesian
Sustainable Palm Oil Certification System) maka dipastikan masyarakat di
wilayah hutan yang nantinya merasakan dampak nyata dari keberadaan perkebunan
kelapa sawit tersebut.
Secara pribadi, saya
menghimbau kepada semua pihak
untuk menjaga kelestarian hutan di Papua.
Kembalikan hutan sesuai fungsinya demi kelangsungan hidup keanekaragaman hayati
dan masyarakat di sekitar hutan.
Sorong, 1 September 2021
Post a Comment