“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Apabila
melihat aib padanya, dia segera memperbaikinya.” (HR. Bukhari)
Indahnya nikmat
keimanan. Hati yang semula gelap menjadi terang.
Bahaya dan penyakit di sekitar diri yang sebelumnya tertutupi, bisa terlihat
jelas. Kian tampak mana yang baik, dan yang buruk. Dalam hal apa pun. Termasuk,
dalam pergaulan dan persaudaraan Islam.
Saat ini tak ada manusia yang
sempurna dalam segala hal. Selalu saja ada kekurangan. Boleh jadi ada yang
bagus dalam rupa, tapi ada kekurangan dalam gaya bicara. Bagus dalam penguasaan
ilmu, tapi tidak mampu menguasai emosi kalau ada singgungan. Kuat di satu sisi,
tapi rentan di sudut yang lain.
Dari situlah seorang mukmin
mesti cermat mengukur timbangan penilaian terhadap seseorang. Apa kekurangan
dan kesalahannya. Kenapa bisa begitu. Dan seterusnya. Seperti apa pun orang
yang sedang dinilai, keadilan tak boleh dilupakan. Walaupun terhadap orang yang
tidak disukai. Yakinlah kalau di balik keburukan sifat seorang mukmin, pasti
ada kebaikan di sisi yang lain. Tidak boleh main ‘pukul rata’: “Ah, orang
seperti itu memang tidak pernah baik!”
Allah Ta’ala meminta
orang-orang beriman agar senantiasa bersikap adil. Firman-Nya dalam surah
Al-Maidah ayat 8, “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah; menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dari timbangan yang adil itulah,
penilaian jadi proporsional. Tidak serta-merta mencap bahwa orang itu pasti
salah. Mungkin, ada sebab yang membuat ia lalai, lengah, dan kehilangan
kendali. Bahkan boleh jadi, jika pada posisi dan situasi yang sama, kita pun
tidak lebih bagus dari orang yang kita nilai.
Kekurangan diri seorang mukmin
merupakan ujian mukmin yang lain. Sesama mukmin seperti satu tubuh. Ada keterkaitan yang begitu kuat. Sakit
di salah satu bagian tubuh, berarti sakit pula di bagian yang lain. Cela pada
diri seorang mukmin, berarti cela pula buat mukmin yang lain.
Setidaknya, ada dua ujian buat
seorang mukmin ketika saudaranya tersangkut aib. Pertama, kesabaran untuk
menanggung keburukan secara bersama. Siapa lagi yang layak memberi kritik dan
arahan kalau bukan saudara sesama mukmin. Karena dialah yang lebih paham
seperti apa daya tahan keimanan saudaranya sesama mukmin. Sabar untuk
senantiasa menegur, mendekati, dan memberi solusi dengan cara yang baik pula.
Kedua, kesabaran untuk tidak
mengabarkan keburukan saudaranya kepada orang lain. Ini memang sulit. Karena
lidah kerap usil. Selalu saja tergelitik untuk menyampaikan isu-isu baru yang
menarik. Tapi sayangnya, sesuatu yang menarik buat orang lain kadang buruk buat
objek yang dibicarakan. Di situlah ujian seorang mukmin untuk mampu memilih dan
memilah. Mana yang perlu dikabarkan, dan mana yang tidak.
Rasulullah bersabda, “Tidak
akan masuk surga orang yang suka mendengar-dengar berita rahasia orang lain.” (
HR. Bukhari)
Tataplah kekurangan diri
sebelum menilai kekurangan orang lain
Ego manusia selalu mengatakan
kalau ‘sayalah yang selalu baik. Dan yang lain buruk’. Dominasi ego seperti
inilah yang kerap membuat timbangan penilaian jadi tidak adil. Kesalahan dan
kekurangan orang lain begitu jelas, tapi kekurangan diri tak pernah terlihat.
Padahal, kalau saja bukan karena anugerah Allah berupa tertutupnya aib diri,
tentu orang lain pun akan secara jelas menemukan aib kita.
Sebelum memberi reaksi
terhadap aib orang lain, lihatlah secara jernih seperti apa mutu diri sendiri.
Lebih baikkah? Atau, jangan-jangan lebih buruk. Dari situlah ucapan syukur dan
istighfar mengalir dari hati yang paling dalam. Syukur kalau diri ternyata
lebih baik. Dan istighfar jika terlihat bahwa diri sendiri lebih buruk.
Tatap aib saudara mukmin lain
dengan pandangan baik sangka. Mungkin ia terpaksa. Mungkin itulah pilihan buruk
dari sekian yang terburuk. Mungkin langkah dia jauh lebih baik dari kita, jika
berada pada situasi dan kondisi yang sama.
Membuka aib seorang mukmin
berarti memperlihatkan aib sendiri. Seorang mukmin dengan mukmin lainnya adalah bersaudara. Sebuah persaudaraan
yang jauh lebih sakral ketimbang satu ayah dan satu ibu. Karena Allah sendiri
yang menyatakan kekuatan persaudaraan itu: “Sesungguhnya orang-orang beriman
itu bersaudara….” (Al-Hujurat: 10)
Ketika seorang mukmin membuka
dan menyebarkan aib saudaranya, ada dua kesalahan yang dilakukan sekaligus.
Pertama, ada citra keagungan orang-orang beriman yang terkotori. Dan reaksi
yang muncul memojokkan umat Islam, “Yah, sama saja. Keimanan tidak bisa jadi
jaminan!” Dan seterusnya.
Kedua, orang yang gemar
menyebarkan aib saudaranya, sebenarnya tanpa sadar sedang memperlihatkan jati
dirinya yang asli. Antara lain, tidak bisa memegang rahasia, lemah
kesetiakawanan, dan penyebar berita bohong. Semakin banyak aib yang ia
sebarkan, kian jelas keburukan diri si penyebar gosip.
Benar apa yang dinasihatkan
Rasulullah bahwa diam adalah pilihan terbaik ketika tidak ada bahan ucapan yang
baik. Simpanlah aib seorang teman dan saudara sesama mukmin karena dengan
begitu kelak Allah Ta’ala akan menutup aib kita di hadapan manusia.
(Muhammad Nuh, dakwatuna.com)