Refleksi Rabiul Awal; Memaknai Kelahiran Sang Nabi dengan Cara Berbeda


Senin, 9 Rabiul Awal tahun Gajah -demikianlah Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury dalam Ar-Rahiqul Makhtum-nya menuliskannya- , sekitar 15 Abad yang silam seorang lelaki mulia terlahir ke dunia. Ia terlahir dari rahim seorang wanita pilihan, keturunan bangsawan pilihan dari kabilah Quraisy bahkan rantai silsilahnya diisi oleh orang baik-baik hingga kakeknya Ismail dan Ibrahim -'alaihimassalam.
Dialah Al Amin, rasul penutup akhir zaman. Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Kelahirannya disambut gembira oleh sang kakek Abdul Muthalib,  dibawa ke Ka’bah  sebagai wujud sukacita dan didoakan. Diberi nama Muhammad, sebuah nama yang asing bagi bangsa Arab karena beliaulah orang pertama yang memakai nama itu. Namun Allah menghendaki pemilik nama asing ini menjadi inspirator terbesar sepanjang zaman. Sang rahmatan lil ‘alamin. 
Kelahiran sang Al-Amin ini sungguh hebat. Allah mengiringinya dengan beberapa peristiwa besar memberikan isyarat bahwa seorang tokoh besar telah lahir. Sang ibunda menyaksikan seberkas cahaya keluar dari rahimnya dan cahaya itu menerangi sudut-sudut istana Syam. 
Nun, ribuan mil dari kota Mekah goncangan hebat melanda istana Kisra Parsi hingga 14 tiang Istana Putih itu ambruk. Sementara kobaran api sembahan kaum Majusi yang tak pernah padam selama ribuan tahun , hari itu padam seketika.  Gereja di Bahirah Sawah juga ikut runtuh.
Cahaya kebenaran perlahan kembali menyinari sudut-sudut kehidupan. Runtuhlah segala kesombongan dan berakhirlah kebatilan , digantikan oleh bangunan-bangunan peradaban yang dibina dengan shibgoh ilahi dan tarbiyah rabbani
Ketika Mesir di bawah kekuasaan dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad, sepasukan utusan dinasti  Syiah Fathimiyah di Maroko memasuki negeri  Kinanah mencari wilayah baru untuk melanjutkan dinasti mereka.  Pusat pemerintahan Islam di Mesir ketika itu berada di Fusthat. Akhirnya mereka mendapatkan sebidang tanah yang kemudian mereka sulap menjadi sebuah kota bernama Kairo. Sejak itu dinasti Fathimiyah resmi berdiri di Mesir. 
Sebagai pendatang baru di wilayah tersebut tentu Fathimiyah harus berjuang keras untuk mendapatkan simpati dan penerimaan dari rakyat Mesir.  Adapun bangsa Mesir dikenal sebagai bangsa yang memiliki gelora kecintaan yang tinggi terhadap sosok Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, bahkan sampai sekarang.  Alasan ini juga yang menjadi salah satu faktor penerimaan mereka pada pemerintahan Abbasiyah yang memiliki nasab kepada Abbas, paman Rasulullah. 
Para petinggi Fathimiyah mencoba memanfaatkan kondisi ini untuk melakukan pendekatan dan menarik simpati rakyat Mesir. Di awal tahun berdirinya Fathimiah, Sultan Mu'idz Liddinillah membuat perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw. Gerbang istana dibuka seluas-luasnya bagi rakyat Mesir, mereka dijamu dengan aneka makanan dan manisan yang konon didatangkan langsung dari Syam. Itulah hari kegembiraan bagi rakyat Mesir yang dipersembahkan oleh dinasti Fathimiyah.  Selain itu ada juga perayaan hari kelahiran Ali bin Abi Thalib, Fathimah, Hasan, Husein dan hari kelahiran raja berkuasa. Inilah pertama kali sejarah peringatan maulid Nabi yang kemudian menjadi sebuah tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Hingga hari ini beraneka ragam ritual perayaan dilakukan di berbagai belahan dunia. Kelahiran sang Nabi dirayakan dengan jamuan dan puji-pujian serta aneka ragam perayaan lain.
Dalam tulisan ini penulis tidak akan memaparkan apa hukum perayaan ini, karena sudah menjadi kajian dan perdebatan panjang para ulama. Hanya saja penulis mencoba mengambil sisi lain dari peristiwa agung ini. Tatkala kondisi umat Islam yang cukup memprihatinkan, tercabik-cabik karena dengki dan berguguran di medan Ghazwul Fikri
Fenomena besar yang terjadi pada masa kelahiran Rasulullah Saw adalah sebuah isyarat kenabian  bahwa umat ini akan menumpas segala bentuk tirani kezhaliman dan merebut serta memimpin peradaban. Hal itu terbukti dengan futuhat besar-besaran umat Islam yang akhirnya berhasil merebut dua imperium besar Romawi dan Persia.  Pada waktu bersamaan kobaran api kecongkakan berhasil dipadamkan dan digantikan dengan cahaya kebenaran. 
Belum ada peringatan kelahiran Sang Nabi, namun mereka berhasil menafsirkan isyarat kenabian, menyatukan kekuatan dan menggentarkan musuh-musuh hingga mereka berhasil merebut dan membangun peradaban terbaik sepanjang zaman. 
Namun abrasi zaman akhirnya mengikis semangat itu dan hanya menyisakan wujud lain dari momentum sejarah ini. Umat hari ini hanya mengenang Rasulnya  dengan ritual-ritual hambar yang selalu diulang sepanjang tahun tanpa ada efek berarti.  Atau terjebak dalam perdebatan yang juga tidak menghasilkan apa-apa.  Sebagian menentang dan menyesatkan namun sebagian lain bersikukuh dengan keyakinan yang ada. Sepanjang tahun kita selalu disuguhkan menu yang sama. Momentum ini hanya dijadikan ibarat jamuan yang mengenyangkan sesaat, bertahan satu dua hari. Adapun setelah itu basi lalu dibuang. 
Momentum ini diperingati setiap tahun, namun tak berbekas apa-apa. Sementara wajah umat Islam kian hari makin  penuh luka, berlepotan darah dan air mata, babak belur menjadi bulan-bulanan musuh. Palestina masih menjadi PR besar yang belum terselesaikan. Suriah masih menjadi arena pembantaian rezim tirani. Bangsa Arab hanya terdiam dan sebagiannya berbisik-bisik mencibir saudaranya Mesir yang tengah tertatih berjuang dan berdiri menyelamatkan revolusi. Umat Islam masih saling sikut satu sama lain mempertahankan pebedaan pandangan. Sebagiannya memilih beruzlah menshalihkan diri sementara membiarkan kemanusiaan terkapar menyedihkan. Sungguh , Rasulullah di penghujung nafasnya masih menitikkan air mata memikirkan nasib umatnya. Masih pantaskah kita dengan cara ini mengaku cinta kepada Rasulullah?
Sudah saatnya kita mengenang momentum ini  dengan cara yang berbeda. Saatnya kita perlu menjemput kembali risalah kenabian ini dari awal.  Ketika kebatilah runtuh berkeping di hadapan kebenaran. 
“Katakanlah: telah datang Al-Haq (kebenaran) dan telah musnahlah kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu sesuatu yang pasti lenyap.” (QS. Al-Isra’ :81)
Namun permasalahan kita adalah ketika barisan perjuangan ini sampai di persimpangan. Ketika visi terurai dalam keberagaman misi. Mampukah kita tetap terjalin dalam satu simpul yang sama? Bisakah kita saling mengisi dalam menyempurnakan bangunan kebangkitan? 
Sudah saatnya kita memaknai momentum ini dengan sesuatu yang berbeda tapi berarti. 
Wallahu a’lam 

(Harun al Rasyid, sinaimesir.blogspot.com)
Previous Post Next Post