Gizi Untuk Menghidupkan Hati



“Orang kok hatinya seperti batu,” demikan keluh seorang teman. Ia mengeluh atas ulah atasannya di tempat kerja yang dinilai sangat kaku, tak berperasaan dan dinilai kurang punya empati sosial dengan sesama.
Kasus seperti ini mudah kita temui. Di kantor, di lingkungan bahkan di lingkungan terdekat keluarga kita sendiri, di rumah. Sesungguhnya kematian hati tidak hanya merusak pribadi seseorang. Lebih jauh, matinya hati akan berdampak sangat serius bagi kelangsungan alam dan kehidupan itu sendiri. Berbagai macam problem kehidupan, dari pencemaran lingkungan hingga tawuran, dari mencuri hingga korupsi, dari menipu hingga membunuh, dari sekularisme hingga barbarisme, semuanya bermula dari hati yang mati.
Hati yang mati akan menggelapkan mata dari kebenaran, menjadikan telinga tuli dari kebaikan, lidah tak terkendali dalam menebar keburukan, dan tidak ada yang dipikirkan, diucapkan dan dilakukan selain perkara-perkara yang mengundang kemurkaan Allah Subhanahu Wata’ala. Orang yang mati hatinya akan mencintai kejahatan dan membenci kebaikan. Itulah hati Fir’aun, Qarun, Abu Jahal, dan Abu Lahab. Itulah orang-orang yang telah menuhankan hawa nafsunya.
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِن بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS: Al Jaatsiyah [45]: 23).
Pendiri Hidayatullah, Ustadz Abdullah Said, dalam sebuah rekaman ceramahnya pernah menyampaikan bahwa, jika hati seseorang mati, maka ia akan melakukan hal-hal yang mengundang murka Allah, banyak orang yang akan dibenci, dimusuhi, dan dianiaya.
Bahkan orang seperti itu tidak akan pernah puas sebelum mereka yang dibenci dan dimusuhi enyah dari permukaan bumi. Senang bila melihat orang lain jatuh dan mati, dan sangat sedih jika ada orang lain mengunggulinya, apalagi sukses dan bahagia, melampaui apa yang telah diraihnya. Perumpamaan orang yang seperti itu sungguh sangat buruk. Al-Qur’an, sama sekali tidak dipahami dengan baik, baginya hidup adalah nafsu dan ambisi belaka.

وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَـكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِن تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَث ذَّلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“…Tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga)…” (QS: Al A’raf [7]: 176).
Jadi, sebagai seorang Muslim, terutama di era globalisasi ini, kita tidak boleh lengah untuk memberikan ‘asupan gizi’ yang berkualitas untuk kesehatan hati kita masing-masing. Dan, untuk bagaimana menyehatkan hati manusia, Allah telah memberikan petunjuk yang luar biasa, agar kita tidak hidup menjadi manusia yang pendengki, pemaki, dan irasional.
Menurut Imam Ghazali dalam bukunya “Ajaibul Qalbi al-Awwal min Rubu’ al-Mukhlikat” hati memiliki dua pengertian. Pertama, segumpal daging yang berbentuk bulat panjang yang terletak di dada sebelah kiri, yang memiliki fungsi-fungsi tertentu. Di dalamnya terdapat rongga yang berisi darah hitam. Ini adalah sumber ruh atau nyawa. Kedua, yaitu sesuatu yang halus (lathifah), bersifat ketuhanan (rabbaniyyah) dan ruhaniyah, yang berkaitan dengan hati secara fisik tadi. Lathifah (yang halus) itu adalah hakikat diri manusia. Ia mampu menangkap pengetahuan tentang Allah dan hal-hal spiritual lainnya, yang tidak mungkin dicapai dengan akal pikiran semata. Hati merupakan satu-satunya perangkat yang jika ia hidup pasti akan menjadikan indera fisik lainnya, benar dalam melihat makna realitas dan kebenaran, sehingga akan muncul sifat sholeh, santun, ramah, pemaaf, dan suka membantu orang lain.
Maka marilah kita perbanyak dzikrullah agar hati ini senantiasa hidup sehingga selalu ingin mendekat pada Allah dan cenderung pada kebaikan.
Sumber: alhikmah.ac.id

Previous Post Next Post