"Sejak dulu kami
menyepakati,” demikian tulis Imam Ahmad ibn Hambal, “jika seseorang menghina
saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya
dengan dosa yang semisal dengannya.”
Tidak menghina orang baik itu perkara yang wajar adanya. Akan
tetapi, tidak menghina mereka yang (sedang) tergelincir dosa butuh kesungguhan
juga. Ini bukan pekerjaan sederhana. Betapa sering kita memperolok orang lain
yang sedang terpeleset dan berperkara. Mengejek mereka sambil memicingkan
sebelah mata. Alih-alih menginstrospeksi diri, kita malah menyibukkan diri
untuk menjadikan mereka yang tergelincir dalam kekhilafan sebagai bahan
gunjingan. Maka, sekali lagi, betapa sering kita dengan sikap jumawa mempertanyakan,
“Kok bisa dia berbuat sekerdil itu?” Seakan kita merasa sangat yakin bahwa kita
akan mampu melampaui ujian serupa. Sungguh, hanya kepada Allah kita memohon
pada Allah agar mengistiqamahkan hati kita dalam ketaatan kepada-Nya.
Ketika seseorang menghina saudaranya yang tergelincir
kesalahan, pada saat bersamaan ia sedang menggelincirkan diri pada kesalahan
yang bersebab kesombongan. Jumawa bahwa dirinya lebih baik. Sungguh perkataan
Sufyan bin Uyainah patut kita renungkan. “Siapa yang kemaksiatannya terletak
pada syahwat, maka taubat bisa diharapkan darinya. Sebab Adam a.s. bermaksiat
karena keinginan syahwat, ia bertaubat lalu diampuni. Sementara jika
kemaksiatannya terletak pada kibr (kesombongan), maka aku khawatir is sebagai
orang yang dilaknat. Iblis bermaksiat karena kesombongan karenanya ia
dilaknat.” Begitulah yang terjadi, ketika seseorang menghina saudaranya yang
tertimpa kesalahan, ia sendiri tidak menyadari bahwa penghinaan yang
dilakukannya adalah kesalahan yang lebih parah. Apa yang diperoleh dari
menghina? Pahala dari Allah berupa jaminan surgakah? Atau bertumpuknya
keburukan dan kehinaan diri? Alangkah indah manakala kita bersibuk menelisik
diri daripada menguliti saudara sendiri.
Suatu hari Sufyan bin Al-Hashin duduk berbincang dengan Iyas
bin Mu’awiyah. Ketika melintas seorang anak muda, Sufyan menuturkan keburukan
anak muda itu. Iyas bin Mu’awiyah lalu mencergahnya dan mengatakan, “Diamlah
wahai Sufyan, apakah engkau pernah terlibat dalam pertempuran melawan Romawi?”
Sufyan menjawab tidak pernah. Kembali Iyas bin Mu’awiyah bertanya pada Sufyan
bin Al-Hashin. “Kalau begitu pernahkah engkau ikut dalam perang melawan pasukan
Tatar?” Kembali Sufyan menjawab tidak sambil menggelengkan kepala. “Orang
Romawi dan orang Tatar selamat dari keburukan lisanmu,” demikian kata Iyas bin
Mu’awiyah, “tapi, seorang Muslim cedera karena lisanmu!” Sungguh ada banyak hal
yang patut dibanahi dari diri kita hari-hari ini. Ketika media mempermudah
jangkauan untuk mengetahui ruang- ruang pribadi seseorang, seringkali kita
menjadi latah untuk mengomentari. Kita pun menjadi tak sadar sedang digiring ke
arah tradisi pergunjingan yang tiada manfaat. Kita mendadak menjadi gampang
mencela dan mudah dibuat kecewa pada hal- hal yang tidak terlalu penting. Betapa
hal-hal demikian sangat menguras energi dan mudah membelokkan orientasi; dari
semangat beramal ke arah hasrat pergunjingan. Na’udzubiLlahi min dzalik.
Alangkah menusuk nasihat Ibnu Athaillah As-Sakandary. “Betapa
banyak kemaksiatan yang mewariskan rasa hina dan rendah di hadapan Allah
ta’ala,” tuturnya. Beliau lalu melanjutkan, “Sungguh, itu lebih baik dari
ketaatan yang mewariskan sikap merasa mulia dan sombong.” Begitulah kearifan
sikap dinasihatkan pada kita. Agama ini melarang seseorang untuk mencaci dan
menghina orang yang melakukan kesalahan. Pada yang berdosa saja kita tak boleh
mencelanya, apalagi pada mereka yang kesalahannya belum diputuskan benar
tidaknya. Puncak tertinggi dari masyarakat Muslim adalah menegakkan hukum
sesuai yang dituntukan Allah, dan bukan menyibukkannya dengan cacian dan
hinaan.
Bukankah kita tak mengetahui jalan cerita kehidupan
seseorang? Bukankah telah bertabur banyak tauladan, mereka yang pernah
tergelincir dalam kekhilafan, ternyata mampu menuntaskan kehidupannya dalam
kebaikan. Yunus pernah terjerat khilaf. Ketika ia berdakwah di Ninawa dan yang
ia temukan hanyalah pembangkangan. Hilanglah sabarnya. Ia pergi meninggalkan
Ninawa sebelum diperintakan-Nya. Sang Nabi ‘mutung’. Lalu, ia ditelan ikan.
Setelahnya ia menginsyafi seluruh kesalahannya dengan doa (Qs. al-Anbiyaa’
[21]: 87). Ia tak lagi dalam hina. Yunus bertabur kemuliaan. Kisah hidupnya
menjadi teladan, maka Quran mengisahkan.
Sungguh, tak akan terhina orang yang dimuliakan Allah karena
taubatnya setelah khilaf. Tak akan mulia orang yang dihinakan Allah bersebab
jumawa yang ditempuhnya dalam taat.
Pada mereka yang keluarganya sedang didera ujian, doakan
semoga lekas terurai masalah. Jangan memperolok dan menghinakannya. Kita tak
berharap ujian serupa ditimpakan atas diri kita. Begitu pula pada mereka yang
gagal menghadapi ujian kehidupan dari Allah, kita panjatkan doa agar Allah
menyayangi mereka yang berusaha memperbaiki diri. Berdoa pula agar kita
istiqamah dalam ketaatan kepada-Nya, lalu menuntaskan tugas hidup kita dengan
khusnul khatimah.
(Dwi
Budiyanto- http://matahati01.wordpress.com/2013/06/27/doa-kita-untuk-mereka)
Post a Comment